Widget HTML Atas

Yang Fana Adalah Waktu Karya Sapardi Djoko Damono

Hasil gambar untuk yang fana adalah waktu

Sinopsis Yang Fana Adalah Waktu (Trilogi Hujan Bulan Juni #3)
Review Buku Yang Fana Adalah Waktu (Trilogi Hujan Bulan Juni #3)

Ketika sebuah kisah mendekati akhir, ada saja kisah baru yang muncul menggantikannya…. (hal.130)

Kelanjutan kisah Sarwono dan Pingkan masih menggantung seperti sejak awal di novel Hujan Bulan Juni, dan masih ada jarak Kyoto dan Solo/Jakarta terlepas setelah Pingkan Melipat Jarak sebelumnya. Sarwono yang sedang menjalani masa penyembuhan kembali saling bersurel dengan Pingkan yang melanjutkan studinya di Jepang, yang otomatis membawa Katsuo kembali di antara mereka. 

Cinta dua sejoli itu tak terganggu sama sekali, terlepas dari apa yang sudah terjadi, tapi jarak dan waktulah yang bermasalah. Sementara itu, pasangan Bapak dan Ibu Hadi beserta yang selalu mereka sebut calon besan Ibu tampak masih berkasak-kusuk perihal hubungan kedua anak mereka.

Hubungan antara Pingkan dan Katsuo semakin asing ketika pria Jepang itu menyeret Pingkan ke Okinawa, kampung halamannya, untuk menemui Noriko, gadis yatim piatu yang dijodohkan ibu Katsuo untuk anaknya. 

Katsuo ingin meyakinkan gadis itu, bahwa tak ada hubungan spesial antara dirinya dengan Pingkan. Hal yang tampaknya agak diada-adakan, karena, tentu saja, Katsuo sejak mula tidak menganggapnya demikian. 

Tak disangka, perkenalan kedua perempuan dalam hidup Katsuo membawa arah baru dalam kehidupan dan jalinan hubungan mereka.

Sebermula adalah seutas benang seutas saja yang ujung dan pangkalnya jelas yang kelokan-kelokannya jelas yang warna putihnya jelas yang tegang lenturnya jelas yang terhubung dengan sosok yang jelas yang kemudian ya ya yang kemudian ya ya yang kemudian entah kenapa ketika ditarik agar ujung-ujungnya bersatu malah memanjang dan semakin panjang dan jadi lentur dan entah kenapa tersangkut…. (hal.111)

Di buku ketiga ini, ikatan Sarwono dan Pingkan semakin diperjelas melalui kisah orang-orang di sekitar mereka. Dua sejoli ini semakin rapat, terlepas dari angin yang menerpa mereka, yang membawa masa lalu melalui kisah-kisah mereka. 

Salah satunya adalah perihal keasingan, atau identitas sebagai liyan, yang pada zaman modern ini tak bisa lagi dihindari. Perkawinan antar suku, bahkan antar negara sudah menjadi hal biasa, sehingga adat yang kuno harus terkalahkan oleh cinta yang menggebu, di mana pun itu. 

Hadirnya Noriko di tengah-tengah mereka memperjelas bahwa keasingan bisa dilawan dengan cinta, karena cinta menimbulkan usaha untuk mendekatkan, untuk melipat jarak.

Ping, kita ini ternyata sekadar tokoh dongeng yang mengikuti pakem purba seperti yang berlaku dalam segala jenis dongeng dan tontonan Jawa. (hal.86)

Mereka sepenuhnya percaya bahwa dongeng diciptakan sebagai jawaban untuk pertanyaan yang tak akan ada habisnya…. (hal.139)

Membaca buku ketiga dalam trilogi ini pada waktu yang cukup jauh dari buku sebelumnya relatif sulit, karena ada beberapa detail yang berhubungan. Meski tidak utama, rasanya membaca ketiga buku ini kembali dalam waktu yang berturutan akan memberi sensasi yang berbeda. Terutama tarik-ulur hubungan Pingkan dengan Sarwono yang (mungkin) akan mencapai titik akhir di sini.

Sebagaimana kedua novel sebelumnya, dalam buku ini, penulis masih berakrobat dengan menampilkan narasi, epistolary, dan stream of consciousness secara bergantian. Ada satu titik saya merasa trilogi ini sesungguhnya tidak perlu menjadi trilogi, tetapi menjelang akhir saya memahami, bahwa sejak awal, buku ini bukan sekadar ingin menyampaikan kisahnya, ada hal yang lebih dalam di balik itu. 

Terlebih dengan adanya berbagai gurauan dan sindiran sosial dan filosofis, yang terselip dalam percakapan Pingkan dengan Sarwono, menjadikan lingkup kisah ini meluas, sehingga menjadi terhubung dengan kehidupan kita saat ini. 

Secara keseluruhan, membaca buku ini seperti membaca puisi, yang perlu kita reguk saripatinya dan mengabaikan beberapa kalimat yang tampak tak berarti, tapi berarti, tapi sulit dipahami seutuhnya.

Apakah aku boleh tidak paham, Ping?

Boleh, Sar, toh paham atau tidak paham tidak ada bedanya. (hal.140)

Ada satu hal yang mengganjal dalam buku ini, disebutkan saat Pingkan yang masih SMP ditegur kakaknya agar berkirim WA atau surel saja dengan Sarwono, sedangkan saat ini dia telah menjadi dosen, twitter masih menampung hanya 140 karakter. 

Lubang waktu itu tak terlalu penting jika dilihat dalam lingkup Yang Fana Adalah Waktu ini, tapi cukup mengganggu. Di luar itu, penulis—yang bisa dikatakan berasal dari generasi lampau berusaha betul-betul untuk memasukkan unsur kekinian dalam novelnya, bahkan jauh lebih tega dan lebih berani ketimbang penulis yang lebih muda dalam genre yang serupa. Saya rasa hal ini mengukuhkan sikap beliau terhadap unsur kebaruan dalam karya sastra.

Kisah ini pun akhirnya ditutup dengan manis dan apik, semanis gula-gula yang mewujud lapisan-lapisan awan. 4/5 bintang untuk babak akhir pertunjukan karya sastra ala Pak Sapardi.

Katamu kenangan itu fosil, gak bisa diapa-apakan. Tapi yang ini bisa. (hal.95)