Widget HTML Atas

Surat Kepada Kanjeng Nabi Karya Emha Ainun Nadjib

Surat Kepada Kanjeng Nabi - Emha Ainun Nadjib

Sinopsis Buku Surat Kepada Kanjeng Nabi Karya Emha Ainun Nadjib
Review Buku Surat Kepada Kanjeng Nabi Karya Emha Ainun Nadjib
Download Ebbok Surat Kepada Kanjeng Nabi Karya Emha Ainun Nadjib


Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, seniman, cendekiawan, dan apa saja.

Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.


***

Demikian tulis Kiai Mbeling-“julukan” budayawan Emha Ainun Nadjib dalam “surat”-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sudah sampai di manakah langkah kita dalam meneladani kiprah Nabi Suci SAW.?

Surat kepada Kanjeng Nabi ini lahir dari “kreativitas” Cak Nun yang lain, yang rajin menulis di pelbagai koran dan majalah apa pun. 

Hampir semua tulisan yang tampil di sini berasal dari koran-koran lokal yang wilayah peredaran nasionalnya tentu tak seberapa jauh apabila dibandingkan dengan misalnya wilayah peredaran  Kompas atau Republika. 

Bahkan, beberapa koran kemungkinan besar tak bisa men- jangkau wilayah yang lebih luas dari seputar wilayah provinsinya.

Dengan begitu bisa dipastikan bahwa tulisan-tulisan Cak Nun yang terkumpul  dalam  buku  ini  belum  banyak  dibaca  oleh  masyarakat Jakarta, Bandung, Surabaya misalnya. 

Lebih-lebih lagi kota-kota besar di luar Pulau Jawa. Tulisan Cak Nun terbanyak diambil dari koran- koran lokal yang beredar di Yogyakarta Yogya Post, Bernas, Masa Kini (sekarang sudah tidak ada), dan Minggu Pagi. 

Kemudian baru korannya Jawa Tengah Suara Merdeka dan Wawasan. Selanjutnya, tulisan lainnya diambil dari koran yang beredar di Surabaya (Surabaya Post, Surya, dan Jawa Pos), di Jakarta (koran Suara Karya, Pelita, Berita Buana, Suara Pembaruan, dan majalah Gatra, Amanah, serta Editor), dan di Bandung (tabloid Salam).

“Surat kepada Kanjeng Nabi” sendiri merupakan tulisan lepas Cak Nun di Surabaya Post untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad Saw. pada tahun 1992. 

Dalam tulisan tersebut Cak Nun menyampai- kan “kondisi” umat sekaligus mengungkapkan rasa cinta dan kekagumannya kepada Junjungannya itu.

Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh­sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi, tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah­kasidah. Dalam sehari­hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal­hal yang lain.
....................
Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, banyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap­luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing­masing.

Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sahabatmu, Muhammad. Kami mentaimu, namun kami belum benar­benar mengikutimu. Kami masih  takut  dan  terus­menerus  bergantung  pada  kekuasaan­ kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut kepada atasan. Kami menunduk kepada benda­benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal yang picisan.


Berlandaskan isi “surat” tersebutlah, akhirnya tulisan Cak Nun ini dipakai sebagai “ancangan”. Maksudnya, kurang lebih, adalah suatu “pengambilan langkah awal untuk mencapai tujuan” atau “cara khusus dalam mengambil langkah awal untuk mencapai tujuan”.

Apa “cara khusus” dan “tujuan” yang hendak dicapai? Tak mudah menjabarkannya. Tetapi yang jelas, bila tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini ada yang dapat menggulirkan pikiran pembaca untuk terus menggelinding dan tidak mandek, itu sudah cukup.