Widget HTML Atas

Kebenaran yang Hilang Karya Farag Fouda



Apa yang dianggap penghujatan terhadap agama islam sebenarnya terkait dengan tulisan-tulisan Fouda yang terangkum dalam buku ‘Kebenaran yang Hilang ; Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah kaum Muslim. 

Buku ini adalah edisi revisi yang pernah diterbitkan Balai Litbang  Agama Jakarta pada tahun 2007. 

Buku ini mengkritik pandangan dan tafsir oleh beberapa kaum islamis tentang sejarah Islam pada masa sahabat yang dianggap paling gemilang yang pernah dicapai umat islam, sehingga dengan demikian menjadi tolak ukur pendirian negara atau pemerintahan yang islami.

Pandangan beberapa kalangan yang menganggap pentingnya negara Islam atau Islam adalah solusi adalah sebuah pandangan yang sangat akrab dengan slogan Ikhwanul Muslimin. 

Mereka menganggap Islam sebagai agama dan negara. Penerapan syariat islam secara serta merta akan memperbaikan keadaan dan segala persoalan yang ada. Tetapi bagi Fouda, ada banyak persoalan yang belum bisa dijawab. 

Misalnya, adanya kontroversi meluas yang muncul karena adanya respon dari gerakan emansipasi perempuan dan dilain pihak, muncul pula gerakan pendukung hak asasi laki-laki. 

Keduanya adalah kenyataan-kenyataan sosial baru dalam masyarakat yang tidak ada preseden sebelumnya, baik dalam masa Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafii maupun Ibnu Hanbal (hal.12)

Tidak adanya ketentuan yang jelas dalam sistem pemerintahan pada masa Khulafa’ al Rasyidun makin meruntuhkan argumen para penganut islamis yang hendak menegakkan khilafa atau negara Islam. 

Ketidakjelasan ini secara jelas muncul pada masing-masing awal periode kepemimpinan sahabat. Tidak adanya hadis nabi yang digunakan pada saat perkumpulan di Tsaqifah Bani Saidah di kota Madinah. 

Sebuah polemik antara Saad bin Ubadah yang hendak diangkat kaum Anshar menggantikan nabi dengan Abu Bakar yang dicalonkan oleh Umar dan Abu Ubaidah Al-Jarrah. 

Setelah melalui polemik panjang, akhirnya Abu Bakar terpilih menggantikan nabi. Di sini tidak ada penggunaan hadist nabi (kalaupun benar ada) dalam pencalonan.

Oleh sebab itu, dalam tata cara pemilihan, Al Qur’an sendiri tidak meninggalkan ketentuan spesifik tentang perkara ini. Nabi pun tidak mewasiatkan apa-apa kepada kita. 

Jika tidak demikian, tidak mungkin akan terjadi perdebatan sengit dan pertentangan keras di dalam pertemuan Tsaqifah. 

Kalau ada ketentuan, pasti Ali bin Abi Thalib tidak akan menolak mengakui Abu Bakar dan segera membaiatnya (hal.77).

Dan yang lebih menarik menurut Fouda adalah Abu Bakar tidak menganggap tata cara di Tsaqifah sebagai tata cara yang paling benar dalam suksesi kepemimpinan Islam, karena itu ia juga mewasiatkan penggantinya kepada Umar dengan surat tertutup yang lebih dikenal dengan Majlis Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi.

Dengan dasar itulah umat Islam membaiat Umar menjelang wafatnya Abu Bakar, tanpa tahu apa isi surat Abu Bakar itu. 

Tata cara ini juga diralat Umar dikemudian hari, dengan menunjuk satu di antara enam orang pemuka sahabat, yaitu Ali, Utsman, Thalhah, al-Zubair, Ibnu Auf, dan Saad bin Abi Waqash. 

Cara seperti ini juga berbeda dengan tata cara  Muawiyyah yang melakukan pendekatan senjata, serta Yazid yang mewariskan kekuasaannya. (hal. 18).

Sehingga bagi Fouda, yang juga dikutip oleh Samsu Rizal Panggabean dalam pengantar buku ini, zaman para sahabat Nabi dan Khulafa’ al Rasyidun, sebagai zaman keemasan yang dirindukan, Fouda menganggap bahwa itu adalah zaman biasa. 

Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, masih dalam pengantar buku ini, ada banyak jejak memalukan. 

Tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al-Rasyidun wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan pengikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akan masuk surga.